FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Formulasi
Kebijakan Pendidikan dan Kriterianya
Kebijakan pendidikan merupakan proses
dimana suatu pertimbangan-pertimbangan mesti diambil dalam rangka pelaksanaan pendidikan yang bersifat
melembaga, bersifat umum dandapat dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan
keputusan pendidikan. Penjelasan tersebut juga menunjukan bahwa kebijakan
pendidikan diarahkan untuk pengembangan. segala sumber daya pendidikan yang ada guna mencapai tujuan
pendidikan, serta pengembang seluruh warga sekolah melaui berbagai kegiatan
yang berhubungan dengan pengembangan dan keterampilan demi peningkatan kualitas
kognitf, afektif dan psikomotorik demi tercapainya sekolah yang efektif dan
berbudaya mutu
(Muzaki, 2015).
Formulasi
kebijakan pendidikan adalah
interaksi antar peserta perumusan kebijakan pendidikan baik yang formal maupun
yang tidak formal. Warna kebijakan tersebut sangat tergantung seberapa besar
para peserta dapat memainkan perannya masing-masing dalam menformulasikan
kebijakan. Dengan demikian, rumusan kebijakan adalah karya group, baik group
yang menjadi penguasa formal maupun yang menjadi mitra dan rivalnya. Mereka
saling mengintervensi, salang melobi bahkan saling mengadakan bargaining (Imron, 2012:49).
Menurut
Winarno (dalam Syafwatillah, 2014)) Formulasi kebijakan sebagai suatu proses, dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan.
Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang apa yang harus
dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan
tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang
menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya
diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal
ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau
lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif
kebijakan yang dipilih.
Agar rumusan kebijaksanaan,
termasuk kebijaksanaan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut.
1.
Rumusan
kebijakan termasuk
kebijakan pendidkan tidak mendiktekan
keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu
2.
Rumusan
kebijakan termasuk kebijakan
pendidikan, dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul
secara berulang. Hal ini berarti bahwa waktu, biaya, dan tenaga yang telah
banyak dihabiskan, tidak sekadar dipergunakan memecahkan satu masalah atau satu
situasi saja.
B. Prosedur Rumusan
Kebijakan Pendidikan
Prosedur yang digunakan untuk
merumuskan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan adalah sebagai berikut.
1.
Perumusan masalah
kebijaksanaan pendidikan (educational
policy problems). tersebut
sangatlah penting. Karena sebagian besar waktu yang dihabiskan dalam
memformulasikan kebijaksan pendidikan tersebut beradadi rumusan masalah ini. Perumusan masalah
kebijakan, termasuk pendidikan haruslah hati-hati, cermat, dan teliti. Data-data, informasi-informasi,
dan keterangan-keterangan yang didapatkan dan merupakan masukan dari banyak
peserta kebijaksanaan pendidikan, haruslah dapat diakomodasi serepresentatif
mungkin.
2.
Penyusunan
agenda kebijakan.
Dari masalah-masalah yang dirumuskan, kemudian dipilih masalah-masalah dari
prioritas yang paling krusial sampai dengan yang paling tidak krusial, untuk
diagendakan. Pengurutan masalah dari yang krusial sampai yang paling tidak
krusial itu sangat penting karena karena tidak mungkin semua masalah dapat
diagendakan. Dengan demikian, masalah-masalah yang diagendakan tersebut dengan sendirinya haruslah
masalah-masalah yang mungkin saja dapat diselesaikan. Ini mengingat bahwa
hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan tersebut berkonsekuensi logis bagi
persediaan sumber-sumber potensial baik yang bersifat manusiawi maupun non
manusiawi (prasarana dan dana).
3.
Membuat
proposal kebijakan.Yang dimaksud dengan proposal kebijakan adalah serangkaian
kegiatan yang arahnya adalah menyusun dan mengembangkan banyak alternatif
tindakan dalam rangka memecahkan masalah kebijakan. Kegiatan-kegiatan tersebut
meliputi: mengenali alternatif pemecahan masalah, mengidentifikasi dan
merumuskan alternatif pemecahan masalah, mengevaluasi masing-masing alternatif
ditinjau dari sudut kemungkinan dapat dilaksanakan atau tidaknya, dan memilih
alternati tertepat untuk memecahkan masalah
4.
Pengesahan
perumusan kebijakan, sebagaimana suatu rumusan kebijakan
baru dipandang final setelah disahkan oleh peserta perumusan kebijakan formal.
Pengesahan ini penting, karena sejak saat itulah dapat dijadikan sebagai
pedoman bagi pelaksana kebijakan. Pengesahan atau yang sering disebut dengan
legalitas, adalah suatu konstitusionalisasi alternatif-alternatif pemecahan
masalah terpilih yang selama diupayakan. Pengesahan ini penting, agar siapapun
yang bermaksud diikat oleh rumusan kebijakan tersebut (Imron, 2012:49-51).
C. Lingkungan Kebijakan
Pendidikan
Aderson
(dalam Imron 2012) menyatakan bahwa “lingkungan kebijakan pendidikan adalah segala
hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan”.
Pengaruh
tersebut, bisa jadi besar, bisa jadi kecil, langsung, tidak langsung, laten,
dan jelas. Lingkungan kebijakan pendidikan dengan demikian dapat diartikan
sebagai hal yang berada di luar kebijakan pendidikan tetapi mempunyai pengaruh
besar (Imron,2012:31).
Supandi
(dalamImron 2012)
menyebutkan lingkungan kebijakan pendidikan meliputi: kondisi sumber alam,
iklim, tipografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan kondisi
ekonomik. Sementara yang dianggap paling berpengaruh terhadapa kebijakan
tersebut adalah budaya politik. Lingkungan kebijakan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Kondisi Sumber Alam
Kondisi
sumber alam dapat berpenagaruh terhadap kebijakan lingkungan pendidikan, karena
kebijakan pendidikan dibuat tidak terlepas dari ada tidaknya , cukup tidaknya,
melimpah atau kurangnya sumber-sumber alam yang menjadi penopangnya. Di negara
yang kondisi alamnya subur, di mana masyrakatnya dapat dengan mudah
mendapatkan apa yang dibutuhkan, akan berada perumusan kebijakannya dengan di
negara yang langka mengenai sumber-sumber alam.
Keadaan
sumber, yang dapat habis dan dapat diperbarui, tentulah berbeda dengan
sumber alam yang tak akan habis dan tak akan diperbarui. Sebagai penopang dapattidaknya kebijakan tersebut tentunya yang nantinya
dilaksanakan, kondisi sumber alam menduduki tempat stragis. Ia akan menentukan
apakah sebuah kebijakan negaran termasuk kebijakan pendidikannya mesti
bergantung kepada negara lain ataukah tidak. Seberapa kondisi alam
berpengaruh terhadap kebijakan, memang masih dibutuhkan pembuktian secara empiris.
Namun karena antar negara satu dengan yang lain kondisi sumber alamnya berbeda,
maka temuan empiris mengenai pengaruh kondisi sumber alam bagi kebijakan ini
tentulah temuan yang sifatnya kasus, dan tidak begitu mudah digeneralisasikan.
2. Iklim
Sebuah negara di
mana dalam semua iklimnyadapat dipergunakan untuk bekerja, tentulah akan
merumuskan kebijakan tanpa banyak pertimbangan soal iklim. Dan,jika saja ada
perubahan kebijakan sebagai akibat dari adanya iklim yang tidak diestiminasi
sebelumnya, umumnya bersifat elementer dan tidak begitu mendasar. Sebaliknya
pada negara-negara yang mengenal musim dingin, di
mana rakyatnya tidak bisa bekerja sepanjang tahun, maka perumusan kebijakannya
harus benar-benar memperhatikan faktor iklim ini. Sebab, kalau tidak, kebijakan-kebijkan
yang dirumuskan, tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik.
3. Demografi
Demografi atau
kependudukan adalah faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam merumusan kebijakan. Negara yang penduduknya banyak,
akan merumuskan kebijkan pendidikan secara
berbeda dengan negara yang pendududknya sedikit. Pada negara-negara yang
penduduknya banyak, secara umum berhadapan dengan perumusan kebijakan
pendidikan yang menyentuh persolan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Hal
ini disebabkan oleh terbatasnya sumber-sumber potensial yang dimiiliki oleh
pemerinatahnya dalam usaha memenuhi kehendak rakyatnya
dibidang pendidikan.
Sementara itu, pada negara-negara
penduduknya sedikit, di mana sumber-sumber potensialnya melimpah pendidikan
yang menjadi tuntutan rakyatnya, tidak lagi sekedar bersentuhan dengan
kesempatan memperoleh pendidikan melainkan sudah mengarah pada kualitas pendidikan.Oleh
karena itu, agar masyarakat di seputar persoalan mutu pendidikan dapat dipenuhi
oleh pemerintah pada negara-negara yang penduduknya banyak, maka dirumuskannya kebijakan
lain seperti pemabatasan kelahiran pada penduduknya, adalah salah satu jalan
keluarnya. Di negara kita, pembatasan jumlah penduduk yang akan lahir dikenal
dengan keluarga berencana. Sebab, penduduk yang banyak memang berkonsekuensi
logis bagi disediakannya sarana yang banyak.
4. Budaya Politik
Budaya politik adalah keseluruhan
cara hidup, pandangan hidup dan apa saja yang diperbuat oleh masyarakat dalam
kehidupan politik. Budaya politik ini, tidak dirumuskan secara formal lewat
aturan-aturan, hukum, undang-undang atau keputusan-keputusan tertulis. Sebagai
kebiasaan yang tidak tertulis, ia berlaku begitu saja terhadap masyarakat yang
menganutnya. Meskipun tak tertulis, ia telah tersosialisasikan dengan sendirinya pada kehidupan
masyarakat yang menganutnya. Ia berkembang dan dipratikkan dalam kehidupan
keseharian rakyat.
Adatiga jenis budaya politik, yaitu budaya politik
parokial, budaya politik subjektif dan budaya politik partisipatoris.
a.
budaya politik parokial
Suatu masyarakat dikatakan menganut budaya politik parokial,
jika masyarakat tersebut tidak mempunyai
kesadaran politik dan tidak mempunyai orientasi politik. Jika sebagai suatu sistem yang utuh, politik mempunyai sub-sub
sitem masukan, proses akan keluaran, maka masyarakat pemilik budaya parokial, sama sekali tidak pernah mengharapkan apa pun dari
politik sebagai masukan, politik seabagai prosesdan politik sebagai keluaran.
b.
budaya politik
subjektif
Suatu masyarakat dikatakan mempunyai budaya politik
subjetif, manakala keasadaran dan orientasi politiknya hanya terbatas pada
keluarannya saja. Padahal, sebagai suatu sistem yang utuh, politik mempunyai
sun-sub sistem, keluaran dan proses. Masyarakat pemilik budaya demikian,
sekedar sebagai pelaksana saja terhadap keputusan-keputusan politik yang
dihasilkan oleh elit politiknya. Sama sekali tidak punya konsekuensi terhadap
politik sebagai masukan dan proses. Karena itu, umumnya tidak memberikan
masukan-masukan yang berkaitan dengan kebijakan
yang dibuat. Mereka tidak terlibat dalam perumusan kebijakan. Mereka sekedar
sebagai partisioasi dalam pelaksanaan kebijakan.
c.
budaya politik
partisipatoris
Masyarakat yang mempunyai kesadaran politik tinggi
adalah masyarakat yang mempunyai budaya politik partisipatoris. Mereka tidak
saja terlibat dalam kencah politik dalam pengertian keluaran, melainkan juga
sekaligus aktif menjadi partisipan dalam politik sebagai masukan dan proses.
Mereka aktif memberikan masukan-masukan terhadap kebijakan dan dievalusai.
Mereka juga tidak diragukan oleh kebijakan yang dibuat.
5. Struktur Sosial
Struktur sosial
masyarakat berpengaruh terhadap perumusan kebijakan, termasuk kebijakan
pendidikan. Yang dimaksud dengan struktur sosial adalah pelapisan-pelapisan
masyarakat dari strata tinggi sampai dengan strata rendah. Dalam realitasnya,
struktur sosial masayarakat merupakan sebuah jaringan yang kalau dilukis dapat terbentuk
piramida.Ada salah seorang atau lebih, yang oleh masyarakat ditempatkan di
dalam puncak piramid berjenjang ke bawah para pembantu dan simpatisnya, sampai
dengan membawahi orang kebanyakan.
Struktur sosial
masyarakat ini dalam realitasnya ada pada berbagai bidang kehidupan dan dapat
diklasifikasikan ke dalam banyak hal. Struktur sosial masyarakat dapat
terbentuk oleh kesamaan, adat, daerah, agama, kepercayaan, habit/kebiasaan,
keahlian dan kasamaan-kesamaan lainnya. Masing-masing bidang membentuk jaringan-jaringan
sosialsendiri, dan menetapkan kriteria sendiri mengenai anggotanya, tokohnya
dan mereka yang layak ditempatkan pada posisi elit.
6. Kondisi Sosial Ekonomik
Kondisi sosial
ekonomik dianggap banyak berpengaruh terhadap kebijakan, setidak-tidaknya dapat
dianalisis dari hubungan yang selama ini dijalin oleh elit-elit politik,
elit-elit sosial dan elit-elit ekonomi. Dalam sejarah peradaban manusia, selalu
saja antara elit-elit ekonomi dan elit-elit politik mempunyai hubungan khusus.
Ketika hubungan tersebut telah menjadi semacam tawar menawar, maka sebuah
kebijakan bisa lahir dengan pengaruh elit ekonomi dan elit sosial lainnya.
Selain
itu, ekonomi yang dipunyai oleh rakyat kebanyakan, juga menentukan kebijakan.
Sebab, dalam masyarakat yang tingkat kesejahteraann ekonominya masih
rendah, peranan pemerintah secara umum dominan, sementara pada masyarakat yang
makmur secara ekonomik, peranan pemerintahnya menjadi periferal atau marginal.
D. Aktor-Aktor
Perumusan Kebijakan Pendidikan
Orang-orang
yang terlibat dalam perumusan kebijakan negara disebut sebagai aktor perumusan
kebijakan negara. Orang-orang yang terlibat dalam perumusan kebijakan
pendidikan disebut sebagai aktor perumus kebijakan pendidikan. Sebutan lain
bagi aktor ini adalah: partisipan peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh
karena Kebijakan pendidikan mempunyai tingkatan-tingkatan (nasional, umum,
khusus, dan teknis), maka para aktor perumusan kebijakan di setiap
tingkatan-tingkatan tersebut berbeda-beda.
Aktor
formal dalam perumusan
kebijakan pendidikan, secara berturut-turut dikemukakan sebagai berikut.
1.
Legislatif
Legislatif sering dimaksudkan
sebagai pembentuk undang-undang dan perumus kebijakan dalam suatu sistem politik.
Para perumus kebijakan tersebut mempunyai sebutan yang berbeda-beda pada
kebanyakan negara. Ada yang disebut parlemen, ada yang disebut DPR, MPR.
Lembaga tinggi negara yang merupakan cerminan/representasi dari wakil rakyat
inilah yang memang mempunyai kekuasaan untuk membuat undang-undang. Sebelum
undang-undang dibuat, terlebih dahulu dibuatlah aturan mainnya. Aturan main
tersebut kadang-kadang juga disebut dengan tata cara. Dengan demikian, cara
membuatnya telah didasarkan atas kesepakatan bersama.
2.
Eksekutif
Yang dimaksud dengan eksekutif
adalah pelaksana undang-undang. Sebagai pelaksana, eksekutif juga berperan
dalam merumuskan kebijakan. Selain alasan-alasan yang dikemukakan diatas, ada
alasan lain mengapa eksekutif juga berperan dalam perumusan kebijaksanaan.
Yaitu, bahwa agar kebijakan yang dibuat atau dirumuskan oleh legislatif dapat
dilaksanakan sesuai dengan faktor kondisional dan situasional, eksekutif
biasanya merumuskan kembali kebijakan yang dibuat oleh legislatif dalam bentuk
kebijakan jabaran tersebut, dapat juga dimaksudkan untuk mempertegas kebijaksan
yang dirumuskan oleh legislatif.
3.
Administrator
Administrator tertinggi
masing-masing departemen di negara-negara merdeka umumnya memegang peranan
penting dalam merumuskan kebijakan departemennya, oleh karena mereka lebih tahu banyak
terhadap apa-apa yang harus mereka kelola. Administrator departemen tersebut
(dalam hal ini adalah menteri) dikenal sebagai pembantu eksekutif, membidangi
masing-masing bidang yang didepartementalisasikan. Dengan sendirinya, ia
mempunyai kewenangan untuk membuat kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan
yang berkaitan dengan departemennya. Dengan demikian secara material
administrator tersebut mempunyai kewenangan untuk merumuskan, meskipun secara
legalitas yang menetapkan adalah jajaran yang berada di atasnya: legislatif dan
eksekutif.
Selain aktor- aktor formal, ada
aktor-aktor non formal yang bertugas dan berperan dalam perumusan kebijakan.
Aktor-aktor non formal ini adalah:
a.
Partai
Politik
Partai
politik adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan
pemerintahan agar dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan
anggota-anggotanya dalam jajaran pemerintahan.
Peranan yang dimainkan oleh partai
politik dalam merumuskan kebijakan tentulah bergantung kepada seberapa besar
anggota partai politik tersebut. Semakin banyak anggota yang dipunyai, semakin
besar peranan yang dapat dimainkan. Demikian juga kualitas para anggota, akan
menentukan peranannya dalam merumuskan kebijakan.
b. Interest
Group
(Kelompok Berkepentingan)
Interest
Group atau kelompok yang berkepentingan
adalah suatu kelompok yang beranggotakan orang-orang yang berkepentingan sama.
Kelompok ini berusaha mempengaruhi perumus kebijakan formal. Kelompok ini
berusaha agar kepentingan-kepentingan kelompoknya dapat terakomodasi dalam
kebijakan yang dirumuskan
oleh
para perumus formal.
Sesuai dengan namanya, kelompok
berkepentingan mempunyai tuntutan yang bersifat khusus, sempit dan spesifik.
kelompok-kelompok berkepentingan ini dapat berupa: kelompok nelayan, kelompok
petani, kelompok profesional, kelompok buruh dan sejenisnya.
c.
Organisasi
Massa
Organisasi massa adalah kumpulan
orang-orang yang mempunyai cita-cita dan keinginan sama. Sifat organisasi ini
adalah non politis. Organisasi ini dapat berdiri sendiri atau independen dan dapat
juga berafiliasi dengan organisasi politik tertentu. Dalam perumusan
kebijakan, termasuk kebijakan
pendidikan, organisasi massa lazimnya punya harapan-harapan, aspirasi-aspirasi,
yang kemudian disampaikan pada para perumus kebijakan formal.
d.
Perguruan
Tinggi
Perguruan
tinggi adalah suatu lembaga dimana para elit akademikus berada. Dalam perumusan
kebijakan, termasuk kebijaksanaan pendidikan, umumnya tidak pernah
dikesampingkan. Ia memeggang peranan penting meskipun tidak berada dalam
jajaran peserta perumusan kebijakan formal. Sebab, harapan-harapan,
aspirasi-aspirasi, dan masukan-masukan yang berasal dari masyarakat lewat
berbagai macam saluran, umumnya dimintakan pendapatnya kepada perguruan tinggi.
Peranan perguruan tinggi dalam
perumusan kebijaksanaan pendidikan, selain berwujud memberikan gagasan-gagasan
dan pemikiran-pemikiran serta bahan-bahan, juga sekaligus sebagai pengkaji atas
gagasan-gagasan dan dan pikiran-pikiran yang masuk. Dengan demikian, tidak
seluruh harapan, aspirasi, pikiran,gagasan, dan masukan itu diakomodasi
seluruhnya dalam perumusan kebijakan.
e. Tokoh Perorangan
Tokoh
perorangan dapat berasal dari berbagai bidang: pendidikan, agama, politik,
budaya, dan teknologi. Karena kapasitasnya pribadi, tokoh perorangan dapat saja
memberikan gagasan-gagasan, pikiran-pikiran yang brilian bagi penyusunan
kebijakan. Oleh karena tokoh perorangan ini umumnya langsung berhubungan dengan
para perumus kebijakan formal, mereka dapat langsung menyampaikan gagasan dan
sumbangan pemikirannya.
E. Masalah dan
Agenda Kebijakan Pendidikan
Mengutip pendapat David G.
Smith, Anderson (dalam Imron 2012)
memberikan batasan masalah (problema) sebagai berikut:
“for
policy purposes, a problem can be formally defined as condition or situation
that produces needs or redress is sought. This may be done by those directly
affected or by others acting on their behalf.”
Pernyataan tersebut dapat diartikan
sebagai berikut: untuk maksud kebijakan,
suatu masalah dapat diartikan secara formal sebagai suatu kondisi atau situasi
yang memproduk kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan masyarakat
yang memerlukan penanggulangan. Penanggulangan tersebut oleh mereka yang
terkena masalah atau mereka yang merasa bertanggungjawab untuk memecahkan
masalah.
Ada kondisi dan situasi yang
menyebabkan ketidakpuasan masyarakat secara umum dan ada yang menyebabkan ketidakpuasan
untuk sedikit orang saja bahkan sangat pribadi. Kondisi dan situasi yang
menyebabkan ketidakpuasan orang kebanyakan lazim disebut sebagai masalah
masyarakat (public problems), sementara kondisi dan situasi yang menyebabkan
ketidakpuasan pribadi-pribadi lazim dikenal dengan masalah privat (private
problem).
Supandi (dalam
imron 2012) menyebutkan lima jenis masalah yakni sebagai berikut.
1.
Masalah
prosedural, jika berhubungan dengan cara bagaiman pemerintah itu diatur dan
menjalankan kegiatan dan pekerjaannya.
2.
Masalah
substansial, jika berkenaan dengan konsekuensi dari kegiatan manusia.
3.
Masalah
distributif jika masalah tersebut melibatkan sedikit anggota masyarakat dan
dapat ditangani orang perorang.
4.
Masalah
regulatori jika masalah tersebut menimbulkan hambatan dan pembatasan terhadap
lingkungan manusia.
5.
Masalah
redistributif jika berkaitan dengan transfer sumber-sumber di antara
kelompok-kelompok atau kelas masyarakat
Imron (2012:47)
menyatakan bahwa isu adalah problema umum yang
menjadi perdebatan banyak kalangan dengan berbagai sudut pandangnya. Tidak semua masalah
umum dan “isu-isu” tersebut diperhatikan oleh perumus kebijakan. Dan, masalah umum serta
isu-isu yang mendapatkan para perhatian perumus kebijakan inilah yang lazim
disebut sebagai agenda kebijakan.
Masalah-masalah dan isu-isu
tersebut bisa menjadi agenda, jika memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaiman
dikemukakan oleh teori perhatian.
a.
Masalah tersebut
mempunyai masalah luar biasa. Suatu kejadian yang tidak lazim atau istemewa dan
mempunyai implikasi luas bisa berubah menjadi agenda
b.
Masalah yang berkenaan
dengan kepentingan penguasa.
c.
Masalah-masalah yang
diungkapkan oleh media massa secara serentak
d.
Masalah-masalah yang
dikemukakan oleh elit akademikus yang mempunyai wawasan luas dan terkenal
objektif.
Faktor-faktor yang
menjadi penyebab gagalnya suatu masalah-masalah atau isu-isu menjadi agenda
kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan adalah sebagai berikut.
1) Terdapatnya kelompok
penekan dan penghambat baik yang bersumber dari kelompok etnik, sekte, dan
kelompok-kelompok primordial
2) Jika suatu masalah atau
isu-isu tersebut diagendakan, bisa bertentangan dengan tata nilai dan tata
norma yang sedang berlaku atau dijunjung tinggi di masyarakat
3) Jika masalah-masalah
atau isu-isu tersebut diagendakan, dikhawatirkan dapat mengancam kedudukan dan
kepentingan pemerintah yang sedang berkuas
DAFTAR RUJUKAN
Imron, A. 2012. Kebijaksanaan Pendidikan di
Indonesia:Proses, Produk dan Masa Depannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Muzaki, S. 2015. Proses
Perumusan Kebijakan Pendidikan. (http://Proses Perumusan Kebijakan
Pendidikan _ Public Policy & Research Center Indonesia.html), (online),
diakses tanggal 5 September 2015.
Syafitullah. 2014. (http://safwatillah.blogspot.co.id/2014/09/formulasi-kebijakan-implementasi-dan.html),
(online), diakses tanggal 5 September 2015.
0 komentar
Silahkan mengeluarkan unek** yang baik,and jangan nyepam ya..!
Terimakasih udah mampir..!