PENDEKATAN SUPERVISI PENDIDIKAN



PENDEKATAN SUPERVISI PENDIDIKAN
A.  Pengertian Pendekatan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa pendekatan adalah:
1.      Proses, perbuatan, atau cara mendekati (hendak berdamai, bersahabat, dan lain-lain).
2.      Usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti.
3.      Metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.
4.      Ancangan.
Dikatakan pula bahwa pendekatan merupakan sikap atau pandangan tentang sesuatu, yang biasanya berupa asumsi atau seperangkat asumsi yang paling berkaitan. Sedangkan menurut Sanjaya (2008) dalam http://jaririndu.blogspot.com (online) bahwa pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran.
Jika ditarik kesimpulan dari beberapa pendapat di atas, maka pendekatan adalah cara yang digunakan dalam rangka penelitian tentang sesuatu yang biasanya berupa asumsi yang berkaitan terhadap proses pembelajaran.

B.  Pendekatan Ilmiah
Menurut http://masimamgun.blogspot.com (Online) supervisi pengajaran dengan pendekatan ilmiah merupakan indikator keberhasilan mengajar yang dilihat dari komponen-komponen pembelajaran dan variabel-variabel proses belajar dan mengajar. Sehingga pusat perhatian pendekatan ilmiah lebih ditekankan pada pengembangan komponen pembelajaran secara keseluruhan. Pendekatan ilmiah supervisi pengajaran dipengaruhi oleh aliran scientific management, yang menekankan organisasi memiliki satu struktur hierarki dan bekerja dengan cara-cara yang logis, sistematis, dan rasional. Menurut Sahertian (2000: 36) dalam http://masimamgun.blogspot.com (Online) bahwa supervisi pengajaran yang bersifat ilmiah bercirikan hal-hal:
1)      Dilaksanakan secara berencana dan berkesinambungan.
2)      Sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu.
3)      Menggunakan instrumen pengumpulan data.
4)      Ada data objektif yang diperoleh dari keadaan yang riil.
Supervisor dengan menggunakan skala penilaian atau checklist, untuk menilai proses belajar-mengajar guru di kelas. Hasil penelitian diberikan kepada guru sebagai balikan terhadap penampilan mengajar guru pada semester sebelumnya. Pengajaran dipandang sebagai ilmu, oleh karena itu perbaikan pengajaran perlu dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah, yakni rasional dan empirik. Pendekatan ilmiah supervisi pengajaran dalam pelaksanaannya mengacu pada paradigma kuantitatif.
Guna meningkatkan dan mengupayakan perbaikan pengajaran, maka seorang supervisor guru yang menggunakan pendekatan ini dapat melaksanakan tiga hal yaitu:
1)      Mengimplementasikan (menerapkan) hasil temuan para peneliti.
2)      Bersama-sama dengan peneliti mengadakan penellitian di bidang pengajaran dan hal lain yang ada sangkut-paut dengannya.
3)      Menerapkan metode ilmiah dan mempunyai sikap ilmiah dalam menentukan efektifitas pengajaran.

1.      Posisi Supervisi Pengajaran dengan Pendekatan Ilmiah
Posisi pendekatan ilmiah dalam supervisi pengajaran dapat dipilih menjadi tiga yaitu:
a.      Supervisi Dipandang sebagai Bagian dari Manajemen Ilmiah
Sebagai bagian dari manajemen ilmiah, supervisi pengajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah ini dipandang dapat memberikan responsi atas kekurangan-kekurangan dalam menilai efektifitas pengajaran. Kekurangan tersebut bisa berupa:
a)      Kurang tegas dan kurang jelasnya standar-standar yang digunakan untuk menilai efektif atau tidaknya pengajaran dewasa ini.
b)      Sulitnya menentukan metode-metode yang paling baik.
c)      Sulitnya menentukan guru mana yang mengejar dan melaksanakan tugas paling baik.
Oleh karena itu, tugas utama supervisi pengajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah adalah membantu guru dalam menyeleksi metode-metode mengajar dan memperbarui kemampuan guru-guru dalam mengajarnya. Agar cara mengajarnya menjadi efektif dan efisien. (Burhanuddin dkk, 2007: 17)
Dalam membantu guru menyeleksi metode mengajar, supervisor terlebih dahulu harus dapat menemukan prosedur mengajar yang paling baik dan penampilan mengajar yang paling baik. Baru setelah menemukan hal tersebut, ia akan dapat membantu guru menemukan metode-metode yang dapat menjamin keberhasilan siswa yang diajar secara maksimal.
Dalam memperbarui guru-guru, supervisor terlebih dahulu mengidentifikasi kekurangan-kekurangan mengajar guru, melalui pengukuran pengetahuan guru tentang materi pelajaran, pengukuran pengetahuan guru tentang metodologi pengajaran, dan pengukuran pengetahuan guru tentang proses pengajaran. Pengukuran juga dapat diaksentiasikan pada kemampuan guru dalam memandang pengajaran dari perspektif akademis dan sosial. Selain itu, pengukuran dapat juga dilakukan atas kesabaran dan energi yang dimiliki oleh guru.

b.      Sebagai Gambaran Hasil Penelitian dan Aplikasi Metode Pemecahan Masalah
Di saat awal-awal kemunculan pendekatan ilmiah dalam supervisi pengajaran, yang dilakukan supervisor dalam melaksanakan supervisi pengajaran adalah memanfaatkan hasil penelitian dan menggunakan prosedur sebagaimana prosedur pada pendekatan ilmiah.
Menurut John Dewey dalam Burhanuddin dkk (2006: 29) mengemukakan bahwa tujuan supervisi pengajaran dengan menggunakan pendektaan ilmiah adalah membantu mengembangkan kemampuan guru untuk memecahkan problema kelas secara ilmiah dan dalam membantu mengembangkan kemampuan guru untuk memecahkan problema kelas secara ilmiah tersebut tidak boleh terpengaruh oleh faktor tradisi.
Adapun kegiatan yang dilakukan supervisor bersama-sama dengan guru adalah melaksanakan eksperimentasi mengenai cara, prosedur-prosedur dan metode-metode baru dalam mengajar dan melihat pengaruh cara-cara, prosedur-prosedur dan metode-metode baru terhadap keefektivan pengajaran.

c.       Sebagai Bagian dari Ideologi Demokrasi
Menurut Burhanuddin, dkk (2006: 30) di awal-awal kejayaan pendekatan ilmiah dalam supervisi pengajaran ialah sekitar tahun 1940, supervisi pengajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah lebih banyak mengarah pada dan dinafasi oleh suasana politik pada waktu itu. Oleh karena itu, bantuan supervisor terhadap guru dalam mengaplikasikan metode dan sikap ilmiah senantiasa ditempatkan dalam kerangka prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dikembangkan tersebut.
Ideologi demokrasi yang berkembang saat itu dijadikan sebagai payung bagi kegiatan-kegiatan ilmiah dan penelitian-penelitian ilmiah. Hipotesis-hipotesis yang diformulasikan dan diuji, action research yang dilakukan, desain penelitian yang dibuat, semuanya dimaksudkan untuk memberi bukti atas kebenaran ideologi demokrasi, yang antara lain berwujud diperlukannya partisipasi guru. Riset-riset yang ada pada waktu itu antara lain menyimpulkan, bahwa gaya kepemimpinan demokrasi didalam kelas ternyata ditemukan lebih unggul daripada gaya kepemimpinan yang laisez faire dan gaya kepemimpinan yang otoriter.
2.      Masa Depan Pengajaran dengan Pendekatan Ilmiah
Menurut Burhanuddin dkk (2006:33) mengemukakan bahwa salah satu penyebab suatu negara dapat mencapai supremasi di berbagai bidang adalah karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebagai akibat dari adanya kebebasan yang besar dalam mengadakan penelitian dan menggencarkan kritik. Disamping itu, adanya rasa optimisme yang luar biasa dalam masyarakat juga tidak kalah pentingnya. Rasa optimisme dan besarnya keyakinan bahwa segala sesuatu itu pasti dapat diselesaikan, kemudian menempatkan pendekatan ilmiah pada posisi strategik. Hal demikian, juga berdampak ke supervisi pengajaran di sekolah, yang akhirnya juga menggunakan pendekatan ilmiah. Guru-guru yang mengajar pun harus menggunakan pendekatan ilmiah.
Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, supervisi pengajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah juga di estimasi mempunyai masa depan yang di optimistik. Di dunia pendidikan, dengan menggunakan pendekatan ilmiah akan mempermudah ditentukan mana guru yang efektif mengajar dengan mana yang tidak. Atas dasar itu, supervisor guru dapat mengambil langkah-langkah supervisi dengan meningkatkan keefektivan pengajaran yang dilakukan oleh guru.
Dengan pembahasan di atas, pendekatan ilmiah tidak lepas dari kritik. Meurut Burhanuddin (2006: 34) berikut adalah keterbatasan-keterbatasan pendekatan ilmiah dan riset ilmiah dalam memberikan kontribusi terhadap pengembangan pengajaran:
a)      Jumlah proporsi yang dihasilkan oleh pendekatan ilmiah masih relatif kecil.
b)      Peneliti pengajaran umumnya lebih banyak menyaring dan mengonfirmasikan pengetahuan yang telah mapan dibandingkan dengan menemukan dan mengusahakan munculnya pengetahuan baru.
c)      Dalam melaksanakan penelitian, para peneliti umumnya menyaring pengetahuan yang mapan dengan seleksi yang ketat.
d)     Peneliti umumnya tidak menemukan problema kelas secara menyeluruh, sehingga yang didapatkan hanya parsial saja.
e)      Banyak temuan ilmiah yang mengemukakan konsep pengajaran yang efektif denga ukuran yang berbeda-beda.
Menurut http://masimamgun.blogspot.com (Online) kelebihan dari supervisi pengajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah adalah pembinaan guru didasarkan pada aspek-aspek yang mudah digali, mudah dianalisis, dan disimpulkan. Sedangkan kelemahannya, adalah:
1)      Sering terjadi kesalahan kesimpulan. Kejadian-kejadian tertentu disimpulkan sebagai kesuksesan pengajaran. Pembinaan terhadap guru lebih diarahkan pada perilaku guru yang secara umum dapat meningkatkan mutu pengajaran, misalnya saja memberi penguatan terhadap siswa dan memberi contoh yang konkret atau nyata.
2)      Kesalahan komposisi. Kualitas pengajaran lebih dilihat dari penjumlahan skor variabel-variabel, indikator-indikator yang ada, dicari rata-rata hitungnya. Jika beberapa skor indikator sangat tinggi, sementara skor indikator yang lain sangat rendah, dihitung rata-rata hitungnya maka hasilnya biasa.
3)      Kesalahan pengkonkretan. Pendekatan ilmiah mengacu pada tampilan-tampilan yang tampak. Supervisor membantu guru didasarkan pada perilaku yang tampak pada diri guru. Padahal sistem pengajaran merupakan perpaduan komponen fisik dan psikis.
4)      Kesalahan urus. Seringkali urusan pengajaran hanya dibatasi pada peristiwa yang ada di dalam kelas, sedangkan peristiwa di luar kelas tidak mendapat perhatian.

C.  Pendekatan Artistik
Pendekatan artistik dalam supervisi pengajaran ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap supervisi pengajaran yang menggunakan pendekatan ilmiah. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sergeovani dalam bukunya Supervision of Teaching yang dikutip dalam Burhanudin dkk (2007: 23) yang berisi bahwa ia secara mendasar mengemukakan kegagalan-kegagalan supervisi pengajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Kegagalan tersebut brsumber dari kelemahan pendekatan ilmiah secara internal. Dalam pendekatan ilmiah, supervisi pendidikan terlihat bahwa antara komponen pengajaran yang satu dengan yang lain terkesan terisolasi dan tidak saling berhubungan.
Supervisi pengajaran dengan menggunakan pendekatan artistik, dalam menangkap pengajaran berusaha menerobos keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh pendekatan ilmiah. Dalam sudut pandang pendekatan artistik, keberhasilan pengajaran tidak dapat diukur dengan keberhasilan pengajaran yang lain, yang berbeda pelakunya. Pendekatan artistk merekomendasikan agar supervisor guru turut mengamati, merasakan, dan mengapresiasikan pengajaran yang dilakukan oleh guru. Supervisor harus mengikuti mengajar guru dengan cermat, telaten dan utuh.
Supervisi artistik dapat dikatakan sebagai antitesa terhadap supervisi ilmiah. Supervisi ini bertolak dari pandangan bahwa mengajar, bukan semata-mata sebagai science tapi juga merupakan suatu art. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan dalam meningkatkan kinerja mengajar guru juga harus mempertimbangkan dimensi tersebut. (https://mghazakusairi.wordpress.com)
1.      Argument Penyangga Pendekatan Artistic
Menurut istilah Elliot W. Eisner, kesalahan-kesalahan tersebut dikenal dengan fallacies. Berikut dikemukakan kesalahan-kesalahan pendekatan ilmiah dan argument penyangga pendekatan artistic dalam supervisi pengajaran.
1)      Kesalahan perhitungan
Kesalahan ini timbul karena kejadian-kejadian khusus dalam perilaku pengajaran. Dalam sudut pandang pendekatan artistik, kesuksesan pengajaran tidak dapat dipandang dari: berapa kali guru memberikan penguatan kepada peserta didik, berapa banyak guru memberikan contoh dalam pengajaran, dan darimana inisiatif bertanya peserta didik berasal. Pendekatan artistik lebih menekankan pada: apakah penguatan yang diberikan oleh guru benar-benar tepat. Indikator keberhasilan menurut pendekatan artistik supervisi pendidikan bukan pada darimana asal penguatan kepada siswa dan siapa yang lebih dulu berinisiatif untuk bertanya.

2)      Kesalahan Komposisi
Kesalahan komposisi dapat dilihat dari kenyataan, bahwa kualitas pengajaran lebih dilihat dari penjumlahan skor dari yang dihasilkan oleh variabel-variabelnya. Dalam sudut pandang pendekatan artistik, penjumlahan masing-masing variabel pengajaran, subvariabel dan indikator-indikator tersebut dipandang tidak tepat jika dijadikan sebagai bahan untuk menyimpulkan keberhasilan dan kesuksesan pengajaran. Dalam memandang pengajaran, pendekatan artistik tidak memperhatikan pada tingginya skor masing-masing variabel, subvariabel dan indikator pengajaran, melainkan memperhatikan pada kecocokan dan ketepatan komposisi keahlian seorang pengajar.

3)      Kesalahan Pengkongkretan
Kesalahan ini disebabkan karena tertipu oleh pendekatan ilmiah pada tampilan-tampilan pengajaran yang tampak, atau yang bersifat lahiriah. Tampilan-tampilan pengajaran yang tampak, sesungguhnya hanyalah gejala-gejala saja dari adanya jiwa pengajaran. Oleh karena itu, pendekatan artistik dalam supervisi pendidikan tidak memperhatikan tampilan-tampilan pengajaran yang tampak.
Suatu pengajaran tidak boleh dinilai dengan menggunakan kerangka pengajaran yang lain, yang berbeda konteksnya dan yang berbeda pelakunya. Karena itu, pengajaran yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dibanding-bandingkan. Masing-masing guru mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri dalam melaksanakan pengajaran. Masing-masing guru juga memiliki cara terbaik dalam menampilkan pengajaran.

4)      Kesalahan Urus
Kesalahan urus pendekatan ilmiah supervisi pendidikan dapat dilihat dari terbatasnya urusan-urusan pengajaran pada hal-hal yang berada di luar kelas, yang sedikit banyak mempunyai kadar intervensi terhadap pengajaran yang sedang berlangsung, oleh pendekatan ilmiah hanya dipandang dengan sebelah mata. Kelas sebagai bagian dari sekolah dalam secara keseluruhan, dalam sudut pandang pendekatan ilmiah, seolah-olah dianggap terisolasi dan tidak terpengaruh sama sekali oleh kehidupan sekolah.

Dalam pandangan pendekatan artistik, apa-apa yang berada di luar kelas dan bahkan juga di luar sekolah dipandang mempunyai pengaruh terhadap pengajaran yang dimungkinkan sedang berlangsung di kelas. Kehidupan kelas selain dipengaruhi oleh variabel-variabel yang berada di dalam kelas juga dipengaruhi oleh variabel luar kelas bahkan variabel luar sekolah. Oleh karena itu, pendekatan artistik supervisi pendidikan melihat bahwa kehidupan para pelaku pengajaran (guru dan siswa) di luar sekolah, kehidupan masyarakat sekitar sekolah, kondisi dan situasi sekolah, patut dikaji jika seorang supervisor akan memberikan layanan supervisi pengajaran di sekolah tersebut.

2.      Hakekat Pendekatan Artistik
Ada dua macam cara pemahaman mengenai konsep supervisi pengajaran dengan menggunakan pendekatan artistik. Pertama, melalui definisi supervisi pengajaran dengan pendekatan artistik. Kedua, melalui observasi siapa saja yang terlibat dalam kegiatan supervisi.
a.      Definisi Pendekatan Artistik dalam Supervisi Pendidikan
Pendekatan artistik dalam supervisi pendidikan adalah suatu pendekatan yang menyadarkan pada kepekaan, persepsi, dan pengetahuan supervisor sebagai saran untuk mengapresiasi kejadian-kejadian pengajaran yang bersifat subtleties dan hangat bermakna di dalam kelas. Pendekatan artistik ini mencoba menempatkan supervisor sebagai instrumen observasi untuk mendapatkan data dalam rangka mengambil langkah-langkah supervisi. Oleh karena itu, supervisor sendiri yang ditempatkan sebagai instrumenya, maka dialah yang membuat pemaknaan atas pengajaran yang sedang berlangsung.
b.      Melalui Observasi Siapa yang Terlibat
Dalam pemahaman jenis kedua ini, supervisor benar-benar mengobservasi situasi dan kondisi pengajaran secara menyeluruh. Observasi yang dilakukan berangkat dari keingintahuan supervisor terhadap pengajaran yang sedang berlangsung sebagaimana adanya tanpa ada pretense apapun. Menurut Elliot W. Eisner dalam mengobservasi pengajaran yang sedang berlangsung, supervisor bagaikan menyaksikan tampilan pelatihan musik dan seni.
Seorang supervisor yang melakukan observasi pengajaran dikelas, tidak bermaksud untuk mendapatkan data pengajaran yang kompleks itu dari segi apa adanya, dari variabelnya. Melainkan pada saat observasi itu, ia baru mendapatkan mana yang seharusnya menjadi aksentuasi perhatianya. Dari hasil pengamatan pada pengajaran yang sedang berlangsung, bisa saja dihasilkan hal-hal yang berbeda, sebab karakteristik pengajaran yang sedang berlangsung tersebut senantiasa berkembang. Kadar partisipasi guru dalam proses belajar-mengajar kadang kala tinggi dan rendah. Oleh karena itu, supervisor harus tetap mencapai maksud, mengapresiai karakteristik dan kualitas penampilan pengajaran secara utuh.

3.      Ciri-Ciri Pendekatan Artistik
Ada sejumlah pendekatan artistik dalam supervisi pengajaran. Ciri-ciri tersebut adalah:
1)      Menaruh perhatian terhadap karakter ekspresif tentang peristiwa pengajaran yang terjadi.
2)      Memerlukan ahli seni dalam pendidikan, yang dapat melihat suatu yang subtle dalam pengajaran.
3)      Mengapresiasi setiap kontribusi unik pada guru yang disupervisi terhadap pengembangan siswa.
4)      Menaruh perhatian pada kehidupan kelas secara keseluruhan.
5)      Memerlukan hubungan yang baik dan menyenangkan antara supervisor dan guru.
6)      Memerlukan kemampuan penggunaan bahasa yang dapat menggali potensi-potensi yang dimiliki guru.
7)      Memerlukan kemampuan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan setiap peristiwa pengajaran yang terjadi.
8)      Menerima kenyataan bahwa supervisor dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kepekaanya dan pengalamanya merupakan instrument pokok.

4.      Aplikasi Pendekatan Artistik Supervisi Pendidikan
Seorang supervisor yang menerapkan pendekatan artistik dalam menerapkan supervisi pendidikan, diibaratkan sebagai seorang pelatih musik dan atau seni yang berhadapan dengan mereka yang sedang belajar atau mempersiapkan tampilan-tampilan seni atau pertunjukan. Dalam melaksanakan pendekatan artistik ini, ada beberapa langkah panduan yang dapat dilakukan oleh supervisor:
1)      Jika mau berangkat ke lapangan, ia tidak boleh punya pretense apapun tentang pengajaran yang akan diamati.
2)      Mengadakan pengamatan kepada guru yang sedang mengajar.
3)      Supervisor memberikan interpretasi atau hasil pengamatan secara formal.
4)      Supervisor menyusun hasil interpretasi dalam bentuk narasi.
5)      Penyampaian hasil interpretasi dalam bentuk narasi oleh supervisor kepada guru.
6)      Diskusi atau rundingan mengenai hasil supervisi oleh supervisor.

D.  Pendekatan Klinik atau Klinis
1.      Pengertian Supervisi Klinis
Menurut Herijono dkk (1996) dalam Burhanuddin dkk (2007: 33) bahwa supervisi klinis adalah suatu bentuk bantuan profesional yang diberikan kepada calon guru ataupun guru berdasarkan kebutuhannya melalui siklus yang sistematis dalam perencanaan, pengamatan yang cermat, dan pemberian balikan yang segera secara objektif tentang penampilan pengajarannya yang nyata untuk meningkatkan ketrampilan mengajar dan sikap profesionalnya. Dengan melaksanakan supervisi klinis para guru akan dapat meningkatkan kemampuannya dalam menganalisis kelemahannya atau kelebihannya serta berupaya untuk dapat mengembangkan diri secara maksimal.
Menurut Sergiovanni (1987) dalam Burhanuddin dkk (2007: 33) bahwa penggunaan istilah “klinis” mengandung makna bahwa kegiatan tersebut terpusat pada guru. Istilah klinis disini hampir sama dengan istilah yang berlaku dalam dunia medis. Dalam dunia medis, dokter memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan pasien, diadakan diagnosis, prognosis, penentuan penyakit, treatment dan follow up (tindak lanjut). Dalam supervisi klinis juga ada proses yang sistematis berdasarkan diagnosis, pengamatan, dan umpan balik sesuai permasalahan yang ada. Perbedaan yang ada antara penggunaan klinis dalam pendidikan dan dalam dunia medis adalah terletak pada kondisi kliennya. Dalam dunia pendidikan, guru adalah orang yang profesional dan tahu akan tugasnya, sehingga pemecahan masalah lebih ditekankan pada alternatif yang ditentukan oleh guru dengan bantuan supervisor. Sedangkan dalam dunia medis, alternatif pengobatan tentunya ditentukan oleh dokternya. Sehingga supervisi klinis adalah supervisi yang terpusat pada guru. Selain memang diartikan bahwa istilah “klinis” mengandung makna pada usaha perbaikan pada kesalahan yang dilakukan guru dalam mengajar. Namun perlu ditekankan pelaksanaannya melibatkan guru mulai dari tahap perencanaan sampai dengan analisis keberhasilannya. (Burhanuddin dkk, 2007: 33).
Supervisi klinis dilakukan berdasarkan inisiatif awal dari guru. Pelaksanaan supervisi klinis bagi guru muncul ketika guru tidak harus disupervisi atas keinginan kepala sekolah sebagai supervisor, tetapi atas kesadaran guru datang ke supervisor untuk minta bantuan mengatasi masalahnya. Konsep supervisi klinis dapat dianalogikan dengan seorang pasien yang sedang sakit dan dia ingin sembuh dari sakitnya sehingga dia datang ke dokter untuk diobati. Jika seorang guru memiliki kesadaran seperti pasien tersebut, jika dia mengalami kesulitan dalam tugasnya, maka guru tersebut dapat dikatakan melakukan proses supervisi klinis (Prasojo dan Sudiyono, 2011: 112).
Supervisor seharusnya memiliki pengetahuan dan menguasai penerapan supervisi klinis. Kondisi ini diperlukan untuk mengakomodasi permasalahan di lapangan yang terkait dengan supervisi klinis. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan supervisi klinis sangat jarang dilakukan. Berdasarkan pengalaman dalam diklat pengawas dan kepala sekolah diperoleh informasi bahwa pelaksanaan supervisi klinis di sekolah sangat jarang dilakukan (Prasojo & Sudiyono, 2011: 112).
Supervisi klinis adalah suatu proses tatap muka antara supervisor dengan guru yang membicarakan hal mengajar dan ada yang hubungannya dengan itu. Pembicaraan itu bertujuan untuk membantu guru. Pengembangan profesional guru dan sekaligus untuk perbaikan proses pengajaran itu sendiri. Pembicaraan ini biasanya dipusatkan kepada penampilan mengajar guru berdasarkan hasil observasi.
Goldhmmer dkk (1980) dalam http://yulianti200784.blogspot.com/ (online) mengemukakan 9 karateristik supervisi klinis, yaitu:
a)      Merupakan teknologi dalam memperbaiki pengajaran.
b)      Merupakan intervensi secara sengaja ke dalam proses pengajaran.
c)      Berorientasi kepada tujuan, mengkombinasikan tujuan sekolah, dan mengembangkan kebutuhan pribadi.
d)     Mengandung pengertian hubungan kerja antara guru dan supervisor.
e)      Memerlukan saling kepercayaan yang dicerminkan dalam pengertian, dukungan dan komitmen untuk berkembang.
f)       Suatu usaha yang sistematik namun memerlukan keluwesan dan perubahan metologi yang terus-menerus.
g)      Menciptakan ketegangan yang kreatif untuk menjembatani kesenjangan antara keadaan real dan ideal.
h)      Mengasumsikan bahwa supervisor mengetahui lebih banyak dibandingkan dengan guru.
i)        Memerlukan latihan untuk supervisor.

2.      Tujuan Supervisi Klinis
Beberapa tujuan supervisi klinis yang tercantum dalam Burhanuddin dkk (2007: 33) adalah:
1)      Membantu guru meningkatkan kemampuan mengajarnya, terutama kepercayaan atas kemampuannya serta kemampuan menerapkan keterampilan dasar mengajar.
2)      Memberi balikan yang obyektif atas perilaku guru dalam mengajar di kelas.
3)      Membantu guru menganalisis, mendiagnosis, serta mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi guru di kelas.
4)      Membantu guru meningkatkan kemampuan dan sikap positifnya secara terus-menerus dan berkelanjutan.
5)      Sebagai dasar menilai kemampuan guru dalam rangka promosi jabatan.
Supervisi klinis bagi guru muncul ketika guru tidak harus disupervisi atas keinginan kepala sekolah sebagai supervisor, tetapi atas kesadaran guru untuk datang ke supervisor meminta bantuan mengatasi masalahnya. Kepala sekolah sebagai supervisor akademik seyogyanya memiliki pengetahuan dan menguasai penerapan supervisi klinis (Prasojo dan Sudiyono, 2011: 118).
Asumsi dasar pendekatan ini adalah proses belajar guru untuk berkembang dalam jabatannya tidak dapat dipisahkan dari proses belajar yang dilakukan guru tersebut. Belajar bersifat individual. Oleh karena itu, proses sosialisasi harus dilakukan dengan membantu guru secara tatap muka dan individual. Pendekatan ini mengkombinasikan target yang tersruktur dan pengembangan pribadi. (http://yulianti200784.blogspot.com/)

3.      Ciri-Ciri Supervisi Klinis
Ciri-ciri supervisi klinis dalam Burhanuddin dkk (2007: 33) yaitu:
1)      Pembimbingan yang dilaksanakan supervisor kepada guru atau calon guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi sehingga prakarsa dan tanggung jawab ada di tangan guru. Hal penting yang perlu dilakukan oleh supervisor adalah bagaimana meningkatkan prakarsa guru agar senantiasa mau meningkatkan kemampuan mengajarnya, agar semakin lama kemampuannya semakin meningkat.
2)      Jenis kemampuan yang akan ditingkatkan haruslah didasari pada usul yang diajukan oleh guru, dikaji oleh supervisor dan guru, untuk dijadikan kesepakatan semacam kontrak latihan.
Berdasarkan analisis kelebihan dan kelemahan yang dilakukan oleh guru, maka guru menentukan kemampuan apa yang masih perlu ditingkatkan. Dengan demikian, guru berusaha untuk mengusulkan kepada supervisor tentang bantuan yang dibutuhkannya. Misalnya guru merasa tidak mampu mengendalikan kelas, maka dia akan mengusulkan kepada supervisor, bagaimana mengendalikan kelas yang efektif dan efisien.
3)      Sasaran supervisi klinis hanya dibatasi pada beberapa keterampilan atau kemampuan tertentu saja. Di kelas, guru menerapkan beberapa keterampilan, berbagai metode, berbagai media yang sesuai secara terintegrasi, namun untuk meningkatkan kemampuan guru perlu ditekankan pada aspek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar perilaku guru mudah diamati oleh supervisor secara cermat dan diberikan balikan secara tepat.
4)      Instrumen observasi dipilih dan dikembangkan bersama antara guru dan supervisor sesuai kontrak kedua belah pihak.
5)      Balikan terhadap kegiatan mengajar guru diberikan segera setelah pengamatan dilakukan supervisor.
6)      Meskipun supervisor telah menganalisis dan menginterpretasikan data yang telah direkam, akan tetapi dalam diskusi balikan guru terlebih dahulu diminta menganalisis kemampuannya
7)      Kegiatan supervisi klinis berlangsung secara tatap muka dalam suasana terbuka.
8)      Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah.
9)      Kegiatan supervisi klinis berlangsung dalam siklus yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: pertemuan awal, observasi, dan pertemuan balikan.
10)  Supervisi klinis dapat digunakan untuk konteks pendidikan pra-jabatan maupun dalam jabatan. Disamping juga untuk pembentukan dan peningkatan keterampilan mengajar.

4.      Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Supervisi Klinis
            Dalam melaksanakan supervisi klinis terdapat beberapa prinsip yang dijadikan acuan dalam setiap kegiatannya. Tiga prinsip umum pelaksanaan supervise klinis, yaitu: interaktif, demokratik, dan terpusat pada guru. Acheson dan Gall (1987) dalam Burhanuddin dkk (2007: 34).
Disamping itu juga dikemukakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan oleh para supervisor, yaitu:
1)      Hubungan guru dengan supervisor lebih bersifat interaktif daripada direktif. Hubungan interaktif ini menunjukkan adanya hubungan kolegial yang sederajat antara guru dengan supervisor.
2)      Penentuan tindakan dilakukan secara demokratik. Keterbukaan kedua belah pihak sangat ditekankan. Keduanya berhak mengemukakan pendapat yang akhirnya dicari kesepakatannya.
3)      Terpusat pada guru. Prinsip ini menekankan prakarsa dan tanggung jawab guru terutama dalam pengambilan keputusan tentang fokus kegiatannya.
4)      Sasaran supervisi terpusat pada kebutuhan dan aspirasi guru serta tetap dalam ruang lingkup penampilan guru dalam mengajar di kelas. Dengan demikian maka manfaat supervisi klinis benar-benar dirasakan guru. (Burhanuddin dkk, 2007: 34).
5)      Pemberian balikan didasarkan pada rekaman data yang cermat sesuai dengan kontrak serta dilakukan segera setelah observasi kelas.
6)      Supervisi bersifat bantuan, bukan instruksi, dengan tujuan meningkatkan kemampuan mengajar dan pembentukan sikap professional.
7)      Pusat perhatian dalam belajar-mengajar hanya pada beberapa keterampilan mengajar sesuai dengan kontrak yang telah dibuat bersama.
8)      Prinsip-prinsip tersebut hendaknya tercermin daalam setiap keputusan dan tindakan supervisor dalam melaksanakan supervisor klinis (Burhanuddin dkk, 2007: 35).

Perbedaan supervisi klinis dan supervisi non klinis
No
aspek
Supervise klinis
Supervise non klinis
1.
Prakarsa dan tanggung jawab
Terutama oleh guru
Terutama oleh supervisor
2.
Hubungan supervisor
Hubungan kolegial yang sederajat
Hubungan atasan-bawahan yang bersifat birokratis
3.
Sifat supervisi
Bantuan yang demokratis
Cenderung direktif atau otoriter
4.
Sasaran supervisi
Diajukan oleh guru sesuai dengan kebutuhannya dan dikaji bersama menjadi kontrak
Samar-samar atau sesuai dengan keinginan supervisor
5.
Tujuan supervisi
Terbatas susuai dengan kontrak
Umum dan luas
6.
Peran supervisor
Bimbingan analitik dan deskriptis banyak bertanya untuk membantu guru menganalisis diri
Cenderung evaluatif. Banyak memberi tau dan mengarahkan.
7.
Balikan
Dengan analisis dan interaksi bersama atas data observasi sesuai kontrak
Samar-samar atau atas kesimpulan supervisor


5.      Teori Supervisi Klinis
            Supervisi klinis adalah pembinaan performansi guru mengelola proses pembelajaran (Sullivan dan Glanz dalam Prasojo dan Sudiyono, 2011: 113). Menurut Sergiovanni (1987) ada dua tujuan supervisi klinis, yaitu:
1)      Pengembangan professional
2)      Motivasi kerja guru

6.      Teknik Supervisi Klinis
            Dalam supervisi klinis juga terdapat beberapa teknik yang perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi klinis dapat berjalan dengan baik. Adapun teknik-tekniknya yang ada dalam (Prasojo dan Sudiyono, 2011: 116) adalah sebagai berikut:
1)      Supervisor sebaiknya mendengarkan dengan cermat permasalahan yang disampaikan guru dan berbicara seperlunya saja.
2)      Memberikan komentar yang tepat, artinya komentar disesuaikan dengan permasalahan guru.
3)      Menegaskan pertanyaan atau pernyataan guru agar lebih jelas dan mudah dipahami.
4)      Memberikan pujian kepada guru yang mempunyai p erkembangan baik.
5)      Tidak menasehati secara langsung apalagi di depan banyak orang.
6)      Memberikan motivasi dan dukungan secara optimal.
7)      Memahami permasalahan yang dirasakan orang lain dari sudut pandang orang tersebut, bukan sudut pandang sendiri.

7.      Prosedur Pelaksanaan Supervisi Klinis
            Pelaksanaan supervisi klinis menempuh beberapa langkah kegiatan. Sergiovanni (1987) dalam Burhanuddin dkk (2007: 36) mengemukakan kegiatan supervisi klinis dilakukan dalam lima tahap, yaitu:
a.       Pre observation conference (pertemuan sebelum observasi)
b.      Observation of teaching (observasi guru mengajar)
c.       Analysis and strategy (analisis dan penentuan strategi)
d.      Post observation conference ( pertemuan setelah observasi)
e.       Post conference analysis (analisis setelah pertemuan)
Prosedur supervisi klinis selain menempuh 5 langkah diatas, banyak ahli supervisi klinis menyederhanakan menjadi 3 langkah saja, yaitu:

1)      Tahap Pertemuan Pendahuluan
Supervisi klinis dilaksanakan atas dasar kebutuhan guru, bukan kebutuhan kepala sekolah atau supervisor. Untuk itu, pada tahap pertemuan pendahuluan kepala sekolah (supervisor) membicarakan kemampuan mengajar yang ditingkatkan oleh guru, ditentukan aspeknya, kemudian disepakati bersama oleh guru dan supervisor.
Pelaksanaan supervisi klinis pada tahap ini membutuhkan kiat supervisor dalam menciptakan suasana yang menyenangkan, suasana kekeluargaan, dan kehangatan. Guru tidak merasa takut atau tertekan sehingga guru mau dan berani mengungkapkan permasalahan dan kebutuhan dalam mengajar di kelas. Jika guru belum berani mengungkapkan permasalahan mengajar yang dihadapinya, maka supervisor diharapkan mampu memancing pembicaraan guru dengan pertanyaan yang baik. Demikian seterusnya sampai terjadi komunikasi yang baik antara supervisor dengan guru. Jika guru sudah mengungkapkan apa yang ingin dikembangkannya atau kemampuan apa yang ingin ditingkatkan, maka disepakati bersama menjadi semacam kontrak antara guru dengan supervisor. Kontrak inilah yang menjadi pusat perhatian dalam tahap observasi kelas dan pertemuan balikan.
Terkait dengan proses pembelajaran, permasalahan yang sering muncul dalam mengajar dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.       Guru kurang menguasai keterampilan dasar mengajar, sehingga proses belajar siswa di kelas masih belum optimal.
b.      Kurangnya kepercayaan dan kesadaran mengenai diri sendiri dari pihak guru. (Burhanuddin dkk, 2007: 37).
Langkah-langkah dalam perencanaan pertemuan dalam Prasojo dan Sudiyono (2011: 113) meliputi:
a)      Memutuskan fokus observasi (pendekatan umum, informasi langsung, kolaboratif, atau langsung diri sendiri).
b)      Menetapkan metode dan formulir observasi.
c)      Mengatur waktu observasi dan pertemuan berikutnya.

Sedangkan menurut La Sulo (dalam jurnal Nursyamsyam 2010) untuk melatih berbagai keterampilan dasar mengajar, prosedurnya melalui tahap pertemuan awal atau pendahuluan adalah berikut:
a)      Menciptakan suasana pertemuan yang akrab.
b)      Mengkaji rencana pembelajaran yang meliputi tujuan, metode, evaluasi dan rencana kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan.
c)      Mengkaji keterampilan mengajar yang akan dilatihkan terutama indikator-indikatornya.
d)     Memlih atau mengembangkan instrumen observasi yang akan digunakan mengobservasi calon guru yang sedang mengajar.
e)      Menegaskan kembali simpulan pengkajian untuk kesepakatan bersama.

2)      Tahap Observasi Kelas
Observasi kelas merupakan langkah kedua dalam tahapan supervisi klinis. Observasi kelas sangat perlu dilakukan oleh supervisor. Neagley dan Evan (dalam Burhanuddin dkk, 2007: 38) secara tegas menyatakan bahwa observasi dan kunjungan kelas yang diikuti dengan conference (pre dan post) adalah tulang punggung supervisi. Pada tahap ini guru mengajar di kelas dengan menerapkan komponen–komponen keterampilan yang telah disepakati pada pertemuan pendahuluan. Supervisor mengobservasi guru dengan menggunakan instrumen observasi yang telah disepakati bersama. Supervisor juga merekam secara objektif tingkah laku guru dalam mengajar, tingkah laku siswa dalam belajar, dan interaksi guru-siswa dalam proses belajar-mengajar. Dalam proses ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.       Catatan observasi harus lengkap agar analisisnya tepat.
b.      Objek observasi harus terfokus pada aspek keterampilan tertentu.
c.       Selain rekaman observasi, dalam hal tertentu supervisor perlu membuat komentar yang letaknya terpisah dengan hasil rekaman observasi.
d.      Jika ada kata-kata guru yang mengganggu proses belajar-mengajar juga perlu dicatat oleh supervisor.
e.       Supervisor hendaknya berusaha agar selama observasi guru tidak gelisah  tetapi berpenampilan secara wajar.
Langkah-langkah observasi dalam Prasojo dan Sudiyono (2011: 113) adalah:
a.       Memilih alat observasi.
b.      Melaksanakan observasi.
c.       Memverifikasi hasil observasi dengan guru pada pertemuan berikutnya.
d.      Menganalisis data hasil verifikasi dan menginterpretasikannya.
e.       Memilih pendekatan interpersonal setelah pertemuan berikutnya.

3)      Tahap Pertemuan Balikan
Pertemuan ini dilakukan sesudah latihan mengajar, agar persepsi tentang kegiatan belajar mengajar tersebut masih segar dalam ingatan kedua belah pihak, sehingga pengkajian data yang terekam melalui instrument dapat di bahas bersama.
Pada tahap ini supervisor dan guru mengadakan pertemuan yang membahas hasil observsai mengajar guru. Supervisor menyajikan data apa adanya kepada guru. Sebelumnya guru diminta menilai penampilannya, kemudian dicari pemecahan masalahnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pertemuan balikan yaitu:
a.       Pertemuan balikan harus dilaksanakan sesegera mungkin setelah observasi dilakukan, agar masing-masing pihak masih segar ingatannya pada proses kegiatan belajar-mengajar yang baru saja dilakukan.
b.      Sebelum pertemuan balikan, supervisor perlu mengadakan analisis pendahuluan tentang hasil rekaman observasi.
c.       Suasana pertemuan yang akrab, terbuka, bebas dari suasana menilai atau mengadili.
d.      Supervisor hendaknya mengupayakan agar guru dapat menentukan kekurangan dan kelebihannya sendiri.

Kegiatan pokok dalam tahap ini menurut La Sulo (dalam jurnal Nursyamsyam 2010) adalah:
a)      Memberi penguatan, menciptakan suasana santai, menanyakan pendapat calon tentang kegiatan yang dilakukan.
b)      Mereview tujuan pembelajaran.
c)      Mereview target kontrak latihan.
d)     Mengkaji atau menganalisis data observasi, menginterprestasikan dan menyimpulkan data hasil observasi.
e)      Menanyakan pendapat calon tentang hasil pengajaran.
f)       Menetapkan tindak lanjut serta rencana latihan berikutnya.

8.      Episode Pendekatan Klinik
            Ada 3 episode supervisi pengajaran dengan menggunakan pendekatan klinik ini(Burhanuddin dkk, 2007: 41), yaitu:
1)      Pre Conference (Episode Pertemuan Awal)
Pada episode ini, guru dan supervisor saling bertemu dalam suasana yang akrab dan saling terbuka. Agar guru terbuka terhadap segala hal yang berkaitan dengan pengajarannya, maka supervisor haruslah membangun hubungan kolegial dengan cara pembentukan report. Dengan pendekatan dan pembentukan report yang semacam ini, guru akan terhindar dari rasa takut terhadap supervisornya. Sebab guru yakin, bahwa supervisor yang berada dihadapannya tidak bermaksud mencari kesalahan terhadap dirinya atau memarahi dirinya, melainkan justru membantu agar guru menjadi meningkat kemampuan mengajarnya. Target akhir dari episode pertemuan awal ini, guru beserta supervisor mempunyai kesepakatan (diwujudkan dalam bentuk kontrak) mengenai hal-hal yang menjadi pusat perhatian amatan dan perbaikan. (Burhanuddin dkk, 2007: 41)



 









2)      Episode Observasi Kelas
Pada episode ini, guru mengajar siswa dengan mengaksentuasikan tampilannya pada keterampilan-keterampilan yang akan dilatihkan sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya. Pada pihak lain, supervisor mengadakan pengamatan atas mengajar guru dengan mempedomani instrumen observasi yang dikembangkan bersama dengan guru. Dengan demikian, kontrak yang telah dibangun bersama pada episode pertemuan awal benar-benar dipegang teguh oleh supervisor.
            Selain dapat mempedomani instrumen observasi yang telah disepakati, supervisor sebenarnya dapat juga menggunakan alat-alat elektronik dalam hal perekaman, baik yang berupa audio, visual maupun audio-visual. Dengan cara demikian, supervisor bersama-sama dengan guru dapat mengadakan cek dan recheck atas keterampilan mengajar guru yang dilatihkan.

3)      Episode Pertemuan Balikan
Apabila pada episode pertemuan awal jarak waktu antara pertemuan dengan episode mengajar bisa agak jauh, maka pada episode pertemuan balikan ini jarak antara observasi mengajar dengan pertemuan balikan tidek boleh dilakukan terlalu jauh. Sangat baik jika pertemuan balikan dilakukan sesegera mungkin setelah episode observasi pengajaran, agar apa saja yang dilakukan oleh guru masih segar dalam ingatan guru sendiri dan dalam ingatan supervisornya.
            Seperti ketika pada saat pertemuan awal, supervisor haruslah berusaha seakrab mungkin dengan guru serta mengembangkan sikap saling terbuka. Supervisor juga harus senantiasa menjaga agar dirinya tidak terjebak pada tindakan menilai saja atau bahkan mengadili guru. Pada saat demikian, supervisor hendaknya menyampaikan hasil amatannya sedemikian rupa sehingga guru merasa yakin bahwa tampilan pengajaran yang baru saja ia lakukan adalah sebagaimana yang direkam oleh supervisor.
            Agar pembicaraan mengarah pada yang dikehendaki, dan tidak berlarut-larut tanpa fokus, maka supervisor dan guru harus saling mengingat terhadap kesepakatan atau kontrak yang dibangun bersama pada saat episode pertemuan awal. Dalam pembicaraan demikian, supervisor dan guru boleh berdiskusi mengenai hal-hal yang sudah dikontrakkan. Dari hasil diskusi ini sekaligus akan didapatkan seberapa jauh hasil kontrak dan kesepakatan yang telah dibangun tersebut berhasil dicapai.
 









9.      Pendekatan Klinik dalam Supervisi Pembelajaran
Jika dua pendekatan yang disebutkan sebelumnya, yaitu pendekatan ilmiah dan pendekatan artistik sama-sama bersikukuh dengan kutubnya masing-masing, maka pendekatan klinik dalam supervisi pembelajaran dapat dikatakan merupakan konvergensi di antara keduanya. Dalam pendekatan klinik ini, supervisi pembelajaran dilakukan secara kolegial oleh supervisor dengan guru. Melalui hubungan kolegial atau kesejawatan tersebut, kemampuan mengajar guru dapat ditingkatkan (Imron, 2012: 59)
            Sergiovanni (1979) dalam Imron (2012: 59) menyatakan bahwa supervisi pembelajaran dengan pendekatan klinik adalah suatu pertemuan tatap muka antara supervisor dengan guru, membahas tentang hal mengajar di dalam kelas guna perbaikan pembelajaran dan pengembangan profesi.
            Pendekatan klinik dalam supervisi pembelajaran pada mulanya dikembangkan oleh Cogan, Goldhammer, dan Weller di Universitas Harvard pada tahun 1950 dan tahun 1960-an. Asumsi yang mendasari supervisi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan klinik ini adalah pembelajaran merupakan aktivitas yang kompleks. Maka, komponen-komponen pembelajaran dapat diisolasi sehingga menjadi pembelajaran yang terisolasi. Oleh karena itu, dalam mengamati pembelajaran hasruslah berhati-hati. Dari hasil pengamatan inilah, supervisor akan mengetahui langkah-langkah apa yang harus diambil oleh supervisor dalam rangka meningkatkan kemampuan mengajar guru (Imron, 2012: 59).
            Asumsi pendekatan klinik yang lain adalah bahwa para guru dalam mengajar, berdasarkan hasil-hasil riset, lebih suka dikembangkan kemampuannya melalui supervisi yang bersifat kolegial dibandingkan jenis supervisi yang lain, apalagi dengan cara yang otoritarian. Pendekatan supervisi yang lebih banyak muatan kolegialitasnya adalah pendekatan klinik (Imron, 2012: 60).

10.  Contoh Supervisi Klinis
Supervisi klinis dapat dianalogikan dengan istilah klinis dalam kesehatan yang menunjuk pada suatu tempat untuk berobat. Seorang pasien datang ke klinis bukan karena diundang dokter, melainkan karena ia membutuhkan pengobatan agar sembuh dari penyakitnya. Selanjutnya, dokter mengadakan diagnosis dan memberikan resep untuk mengobati penyakit pasiennya. Dalam dunia sekolah, guru memiliki kesadaran untuk datang sendiri menemui kepala sekolah dan meminta bantuan memecahkan permasalahan proses pembelajaran yang sedang dihadapinya (Prasojo & Sudiyono, 2011: 117).
DAFTAR RUJUKAN
Azzah, C. 2013. Pendekatan dan Model-model Supervisi Pendidikan, (Online), (https://azzuracie.wordpress.com/2013/04/25/pendekatan-dan-model-model-supervisi-pendidikan/), diakses 11 Februari 2015.
Burhanuddin, dkk. 2006. Supervisi Pendidikan dan Pengajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Burhanuddin, dkk. 2007. Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Konsep, Pendekatan, dan Penerapan Pembinaan Profesional. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.
Cahyono, H. 2013. Mengintegrasikan Pendekatan Ilmiah Artistik dan Klinik dalam Supervisi Pembalajaran, (Online), (http://www.academia.edu/4826632/Mengintegrasikan_Pendekatan_Ilmiah_Artistik_dan_Klinik_dalam_Supervisi_Pmebalajaran), diakses 11 Februari 2015.
Gunawan, I. 2014. Pendekatan Supervisi Pengajaran, (Online),  (http://masimamgun.blogspot.com/2014/08/pendekatan-supervisi-pengajaran.html), diakses 11 Februari 2015.
Hidayat, Y. A. 2009. Teknik dan Pendekatan Supervisi Pendidikan, (Online), (http://yulianti200784.blogspot.com/2009/06/teknik-dan-pendekatan-supervisi.html), diakses 11 Februari 2015.
Imron, A. 2012. Supervisi Pembelajaran Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Offline).
Konjo, I. 2012. Pengertian Pendekatan, Metode, dan Teknik, (Online),  (http://jaririndu.blogspot.com/2012/09/pengertian-pendekatan-metode-teknik.html), diakses 11 Februari 2015.
Kusairi, G. 2011. Pendekatan Supervisi Pendidikan, (Online), (https://mghazakusairi.wordpress.com/2011/04/28/pendekatan-supervisi-pendidikan/), diakses 11 Februari 2015.
Mutiara. 2012. Definisi Pendekatan, Metode, dan Teknik, (Online), (http://mutiara09bahasa.blogspot.com/2012/02/definisi-pendekatan-metode-dan-teknik.html), diakses 11 Februari 2015.
Prasojo, L. D. & Sudiyono. 2011. Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.


0 komentar

Silahkan mengeluarkan unek** yang baik,and jangan nyepam ya..!
Terimakasih udah mampir..!